MATAJAMBI.COM - Proses hukum dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di tubuh Pertamina terus bergulir.
Pada Senin, 23 Juni 2025, Kejaksaan Agung Republik Indonesia resmi menyerahkan sembilan tersangka beserta barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Langkah ini menandai dimulainya Tahap II penyidikan yang menjadi bagian penting menuju persidangan di Pengadilan Tipikor.
Kasus ini menyeret sejumlah nama penting dari PT Pertamina (Persero) dan entitas anak usahanya, termasuk Subholding hingga mitra Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selama kurun waktu 2018 hingga 2023.
Baca Juga: Diduga Tampar Kiesha Alvaro, Dimas Anggara Jadi Sorotan! Pasha: 'Cari Saya Sekarang!'
Sembilan tersangka yang kini berstatus tahanan yakni RS, EC, MK, MKAR, GRJ, DW, AP, SDS, dan YF. Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar pada Selasa, 24 Juni 2025, disebutkan bahwa seluruh berkas perkara akan segera dirampungkan dan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
RS, mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga (PPN), disebut memainkan peran penting dalam memanipulasi data Material Balance serta bersinergi dengan PT Pertamina International Shipping (PIS) untuk merekayasa biaya pengadaan produk kilang impor.
Sementara itu, EC, yang pernah menjabat sebagai VP Trading Operation PPN, diduga menyusun formula harga dasar (base price) yang justru merugikan negara dan ikut memuluskan proses tender yang sarat manipulasi.
Baca Juga: Mengerikan! Mahasiswa Ini Tewas Tenggelam Saat Buat Video Kuliah di Lereng Gunung Slamet
MK, eks Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga di PPN, dituding menyalahgunakan wewenangnya dalam proses impor bahan bakar minyak (BBM).
Tak hanya itu, dua individu dari perusahaan mitra PT Tangki Merak yakni MKAR dan GRJ diduga menjalin kerja sama penyewaan fasilitas penyimpanan (storage) tanpa melalui proses tender dan dengan intervensi langsung terhadap jajaran direksi Pertamina.
DW dan AP, yang berperan dalam pengelolaan kapal pengangkut, dituding mengatur margin fee tidak wajar dalam kerja sama antara KPI (Kilang Pertamina Internasional) dan PIS.