BANGLADESH, MATAJAMBI.COM - Ribuan mahasiswa Bangladesh menggelar demonstrasi besar menentang sistem kuota pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap menguntungkan kelompok tertentu secara tidak adil.
Protes ini, yang mengingatkan pada Reformasi 1998 di Indonesia, dipicu oleh ketidakpuasan terhadap prioritas yang diberikan kepada keluarga pejuang kemerdekaan dari Pakistan, yang merugikan kelompok lain.
Menurut laporan New York Times pada Minggu 21 Juli 2024, demonstrasi ini mencerminkan kemarahan mahasiswa terhadap distribusi kekayaan dan peluang yang tidak merata di negara yang mulai goyah setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan pesat.
Pierre Prakash, Direktur Program Asia di International Crisis Group, menyatakan bahwa protes ini adalah manifestasi dari ketidakpuasan yang meluas terkait ekonomi dan politik.
Baca Juga : Australia Pesta Gol, Tumbangkan Vietnam 6-2 di Piala AFF U-19 2024
Baca Juga : Perceraian Anji dan Wina Natalia: Hak Asuh Anak Jatuh ke Wina, Anji Harus Tinggalkan Rumah
Dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi Bangladesh tumbuh pesat berkat industri ekspor garmen, mengangkat jutaan orang dari kemiskinan. Namun, pandemi Covid-19 berdampak buruk, dengan permintaan global terhadap pakaian menurun dan pengiriman uang dari diaspora berkurang. Konsumen domestik menghadapi lonjakan inflasi hingga 10%, sementara tingkat pengangguran di kalangan muda mencapai 16,1%.
Pekerjaan di sektor publik sangat diidamkan karena gaji yang stabil dan prestise. Namun, pemerintah hanya membuka 4.000 formasi per tahun, sementara jumlah pelamar mencapai 300.000 orang. Sistem kuota yang memprioritaskan 56% formasi untuk kelompok tertentu memicu kemarahan mahasiswa. Sistem kuota ini awalnya diciptakan oleh pendiri Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman, pada 1972, dan kemudian diperluas pada 1997 dan 2010 untuk mencakup anak dan cucu veteran perang.
Para analis mengatakan bahwa sistem ini malah melestarikan kelas elite dalam masyarakat dan dianggap tidak adil. Demonstrasi besar-besaran ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya menentang sistem kuota, tetapi juga menyoroti ketimpangan sosial, ekonomi yang tidak merata, dan korupsi yang melanda Bangladesh.*