MATAJAMBI.COM - Ada yang berbeda dari sore itu di Rumah Sakit Medistra. Hening. Tertunduk.
Tak banyak kata yang keluar, hanya isak pelan dan peluk diam yang berbicara. Indonesia baru saja kehilangan satu dari sedikit maestro sejatinya Titiek Puspa perempuan yang tak pernah berhenti menyanyi, bahkan ketika usia terus berlari.
Penyanyi, pencipta lagu, sekaligus aktris lintas zaman itu berpulang di usia 87 tahun, setelah sebelumnya sempat dirawat intensif akibat pendarahan otak yang menyerangnya mendadak.
Ia dilarikan ke rumah sakit usai pingsan di lokasi syuting program TV swasta—sebuah ironi yang justru menegaskan satu hal: hingga detik terakhir hidupnya, ia masih berdiri di tempat yang paling ia cintai panggung.
Baca Juga: Disalahkan Soal Banjir, JBC Jawab dengan Kolam Beton dan Sistem Drainase Mandiri
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selamat jalan Eyang Puspa, karya dan keteladananmu abadi," tulis Inul Daratista di akun Instagram-nya, @inul.d, disertai foto hitam putih Titiek tersenyum mengenakan kebaya.
Bukan hanya Inul. Sederet nama besar ikut mengucapkan duka. Dari Krisdayanti, Rossa, hingga Yura Yunita. Semua mengakui satu hal yang sama—bahwa kepergian Titiek Puspa bukan cuma kehilangan untuk dunia musik, tapi untuk Indonesia sebagai bangsa yang sedang krisis panutan di tengah hingar-bingar digital.
Lahir dengan nama Sumarti pada 1 November 1937, Titiek Puspa memulai karier dari panggung kecil hingga membanjiri pentas nasional.
Ia bukan hanya dikenal lewat lagu-lagu legendaris seperti Kupu-Kupu Malam, Marilah Kemari, atau Bing, tetapi juga lewat caranya menyampaikan pesan: jujur, lembut, dan kadang tajam namun tetap menyentuh.
Baca Juga: Liburan Diam-diam dan Mobil Dinas untuk Mudik: Dua Kepala Daerah Ini Bikin Geger Saat Lebaran!
Tak banyak yang tahu, ia juga pernah menulis lagu anak-anak, lagu perjuangan, hingga musik religi. Karya-karyanya menjadi bagian dari memori kolektif bangsa, diputar berulang-ulang di radio, TV, hingga acara kenegaraan.
Dan yang lebih penting, Titiek Puspa hadir bukan hanya sebagai penyanyi, tapi sebagai penggugah kesadaran kolektif, seorang seniman yang menempatkan karya sebagai ruang edukasi, bukan sekadar hiburan.
Putrinya, Petty Tunjungsari, mengungkapkan bahwa kondisi sang ibu sempat membaik sebelum akhirnya menurun drastis. “Kami tahu ini berat. Tapi Eyang memang kuat. Sampai akhir, beliau masih ingin bekerja,” ujarnya sambil menahan air mata dalam jumpa pers singkat di RS Medistra.
Kini, dunia hiburan mungkin telah kehilangan sosok yang sulit tergantikan. Tapi seperti kata pepatah, seorang seniman sejati tak pernah benar-benar mati. Karyanya akan terus hidup, dinyanyikan ulang, dikenang, bahkan diserap tanpa disadari oleh generasi yang mungkin tak pernah mengenalnya secara langsung.