Warung Mbok Yem bukan hanya sekadar tempat jualan, melainkan telah menjadi semacam "rumah kedua" bagi para pendaki. Di sana, mereka bisa menikmati nasi hangat, teh manis, mie instan, dan yang lebih penting, berbincang ringan yang menghangatkan suasana di tengah dinginnya Gunung Lawu.
Tempat ini terletak hanya sekitar 115 meter di bawah puncak gunung, sebuah lokasi yang penuh kenangan bagi banyak pendaki yang singgah.
Lebih dari sekadar seorang penjaja makanan, Mbok Yem telah menjadi simbol semangat dan ketulusan hati. Dengan keramahan khas nenek Jawa Timur, ia menyambut para tamu yang datang dari berbagai penjuru dunia. Tidak ada pendaki yang datang tanpa mendengar cerita-cerita dari Mbok Yem atau mencicipi teh hangat buatan tangannya yang khas.
Baca Juga: KPU Batanghari Kembalikan Rp1,2 Miliar Lebih dari Dana Hibah Pilkada, Ini Rinciannya
Bagi banyak pendaki, Mbok Yem bukan hanya seorang pedagang, tetapi juga simbol kehangatan, semangat, dan dedikasi.
Meski hidup di puncak gunung dengan fasilitas yang sederhana, ia memberi makna lebih pada setiap perjalanan spiritual dan fisik para pendaki. Keputusan Mbok Yem untuk menetap di gunung, jauh dari kenyamanan rumah, menjadi pilihan hidup yang luar biasa.
Ia lebih memilih berbaur dengan alam sambil melayani para pendaki yang datang, meskipun hanya pulang sesekali, biasanya saat hari raya Idulfitri.
Setelah lebih dari 40 tahun mengabdikan hidupnya di puncak gunung, Mbok Yem akhirnya berpulang.
Baca Juga: KPU Batanghari Kembalikan Rp1,2 Miliar Lebih dari Dana Hibah Pilkada, Ini Rinciannya
Ia menghabiskan sisa usianya bersama keluarga sebelum meninggalkan dunia ini. Kepergian Mbok Yem meninggalkan kesan mendalam bagi para pendaki yang pernah merasakan kebaikan dan ketulusannya.