Ciri khasnya adalah mengandung bahan tambahan buatan seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, serta rendah kandungan serat, vitamin, dan mineral alami.
Penelitian ini bukan hanya memperingatkan masyarakat, tetapi juga mendesak pemerintah di berbagai negara untuk mengambil langkah konkret. "Kita membutuhkan kebijakan global yang tegas untuk mengurangi konsumsi UPF," tegas Nilson.
Baca Juga: Bupati Fadhil Arief Buka Jambore Literasi Numerasi 1 di Batanghari, Tekankan Pentingnya Keseimbangan Intelektual dan Spiritual
Ia juga menyoroti fakta bahwa negara-negara berkembang mengalami lonjakan konsumsi UPF yang mengkhawatirkan, padahal beban kesehatan dari makanan ini baru saja mulai terasa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyarankan pembatasan konsumsi UPF sebagai bagian dari strategi pencegahan penyakit tidak menular seperti diabetes, kanker, dan penyakit jantung.
Sebuah studi tahun 2023 yang dimuat dalam BMJ juga menemukan bahwa konsumsi UPF berkaitan erat dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Banyak produsen kini menggunakan label “rendah gula” atau “tanpa pengawet” pada produk ultra-olahan, padahal tetap tinggi kandungan pemanis buatan dan aditif lain. Konsumen harus lebih jeli membaca label komposisi.
Baca Juga: Tak Hanya Doa, Ini Wejangan Bupati untuk 168 Jamaah Haji Muaro Jambi yang Bikin Terenyuh
Sebagai langkah pencegahan, para ahli gizi menyarankan untuk memperbanyak konsumsi makanan segar seperti buah, sayur, kacang-kacangan, dan biji-bijian utuh.
Selain itu, memasak sendiri di rumah dengan bahan alami menjadi solusi efektif untuk menghindari bahaya tersembunyi dari makanan ultra-olahan.
Jika Anda ingin, saya bisa bantu juga membuat judul-judul menarik untuk artikel ini agar makin optimal tampil di Google Discover. Mau?