Salah satu kutipan bijak menyebutkan, “Terapis sejati adalah seseorang yang selalu berpihak padamu, namun tidak selalu sependapat denganmu.” Dalam praktik modern, ada kecenderungan bahwa sesi terapi terlalu fokus pada validasi emosi dan gaya hidup klien, mengabaikan peran penting konfrontasi dan tantangan sehat.
Padahal, banyak individu justru datang ke terapi untuk mendapatkan wawasan baru tentang diri mereka bukan sekadar mendengar hal-hal yang mereka yakini.
Pengalaman frustrasi, tantangan, bahkan ketidaknyamanan, sebenarnya menjadi elemen penting dalam proses perubahan dan pertumbuhan psikologis. Psikoanalis D. W. Winnicott pernah menciptakan istilah “ibu yang cukup baik” yakni pengasuh yang tidak selalu sempurna namun cukup hadir untuk memungkinkan anak belajar mandiri.
Dalam konteks terapi, terapis yang juga bisa membuat kesalahan atau mengecewakan pada titik tertentu justru mendorong klien belajar mengelola kemandirian emosional.
Melanie Klein juga menegaskan bahwa frustrasi yang muncul dari kebutuhan yang tak selalu terpenuhi adalah bagian dari perkembangan psikologis yang matang.
Heinz Kohut menambahkan bahwa frustrasi optimal kekecewaan yang masih dapat ditoleransi membantu individu mengembangkan kesadaran akan kebutuhan mereka dan belajar memenuhinya secara mandiri.
Bukan berarti AI tidak punya tempat dalam dunia terapi. Dengan pengawasan ketat dan pedoman etika yang jelas, teknologi ini bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari terapi manusia.
Namun, untuk mencapai efektivitas yang aman, kita perlu memahami lebih dalam tentang apa yang benar-benar membuat sesi terapi menjadi transformatif.
Dalam relasi terapeutik manusia, terdapat kebijaksanaan, intuisi, dan kemampuan untuk membuat keputusan moral sesuatu yang sulit dimodelkan dalam bentuk kode algoritma.
Ketidaksempurnaan, refleksi kritis, dan tantangan penuh kasih adalah aspek penting dari terapi yang tidak bisa sepenuhnya ditiru oleh AI.