Baca Juga: Dibayar Rp10 Juta untuk Temani Pesta, Model Cantik Asal Jambi Jadi Tersangka Pembunuhan PolisiNamun, ketika kita berhasil melakukan sesuatu—berjalan ke kotak surat, misalnya—depresi sering kali menyerang balik dengan suara sinis dari dalam diri. “Cuma itu? Kotak surat saja bangga?”
Inilah cara depresi bekerja: ia mengecilkan pencapaian sekecil apapun agar kita merasa gagal lagi. Saat kita termakan oleh suara itu, kita terperangkap kembali. Kita berhenti membelah dua, dan kembali membagi dengan nol. Siklus pun terulang.
Dan ini bukan hanya karena kita berhenti bergerak, tapi karena rasa malu setelah mencoba. Perasaan seolah-olah kita seharusnya mampu lebih dari itu justru memperparah kondisi.
Untuk keluar dari jerat ini, kita harus melatih satu hal penting: tidak tunduk pada ejekan dari dalam kepala sendiri. Kita perlu menyadari bahwa suara itu tidak berhak tinggal di pikiran kita jika tidak membawa manfaat. Pikiran yang tak membantu harus disingkirkan.
Baca Juga: Penyanyi Asal Jambi 'Sidney Mourenshia' Raih Juara I Puteri Tionghoa Indonesia 2025 Singing CompetitionSaat suara itu muncul, kita harus mengingat bahwa perubahan datang dalam langkah kecil, dalam takaran sendok teh, bukan sendok makan.
Kemenangan terhadap depresi tidak datang dari satu gerakan dramatis, tapi dari ritme yang konsisten, dari komitmen untuk terus bergerak, betapapun pelan dan tak terlihatnya.
Akhirnya, Beban Itu Tak Lagi Melekat
Ketika kita mulai mempercayai langkah-langkah kecil itu, saat kita menghargai usaha sekecil apapun yang kita buat, cengkeraman depresi mulai longgar. Lingkaran kelumpuhan itu akhirnya pecah.
Hidup yang sebelumnya terasa runtuh dan kosong mulai terbentuk kembali. Sedikit demi sedikit, sosok kita yang lama kembali melangkah melewati kabut gelap itu. Hingga pada akhirnya, tanpa sadar, rompi berat yang dulu melekat di bahu kini telah tergeletak di kaki, tak lagi membebani.