MATAJAMBI.COM - Selama bertahun-tahun saya mendampingi orang-orang dalam sesi terapi, banyak dari mereka berkata, “Saya tidak merasa sedih. Saya cuma merasa seperti kehilangan arah, dan saya bahkan tidak tahu ke mana harus melangkah.”
Mereka tak menyangka bahwa depresi bisa hadir dalam bentuk kehampaan. Mereka membayangkan akan merasakannya seperti kecewa, seperti duka yang dalam. Namun, sering kali depresi tidak berbunyi kerasia hanya menggantung berat di udara.
Setiap kata keluar dari mereka seperti tetes air yang lambat. Depresi bukan jeritan, melainkan keheningan yang membebani. Seperti mengenakan pakaian basah yang tak terlihat oleh orang lain, namun selalu terasa melekat dan menyulitkan.
Saya menyebut ini sebagai "efek rompi berbobot" sebuah kondisi di mana aktivitas sederhana pun terasa seperti mendaki bukit.
Baca Juga: Ngaku Kerasukan Arwah Brigadir Nurhadi, Model Jambi yang Kini Jadi Tersangka Bongkar Fakta Mengerikan!
Menyikat gigi berubah menjadi perjuangan. Mengangkat telepon bisa menyita sepanjang hari. Waktu terasa berjalan lambat, menyesakkan, dan tanpa aba-aba. Bahkan selimut tempat berbaring pun seolah memanggil untuk tetap diam.
Saat berada dalam kondisi seperti ini, kita cenderung berpikir bahwa penyelesaiannya harus sebanding dengan beban yang kita tanggung. Kita merasa perlu revolusi besar dalam hidup atau perubahan drastis. Padahal, itulah jebakan depresi ia meyakinkan kita bahwa solusinya terlalu berat untuk dijalankan. Akibatnya, kita menyerah bahkan sebelum memulai.
Jika Anda pernah mengalami apa yang saya sebut sebagai efek rompi berbobot, maka Anda pasti tahu betapa mudahnya niat yang terbentuk hancur bahkan sebelum diwujudkan.
Kita merencanakan olahraga, namun tubuh menolak bergerak. Kita sudah menjanjikan diri akan bertemu teman, tapi akhirnya membatalkan dengan berbagai alasan. Semua rencana runtuh tanpa bekas. Depresi membuat kita membagi segalanya dengan nol dan dari nol, tak ada yang tersisa.
Baca Juga: Ahmad Dhani Laporkan Dugaan Perundungan Anak Bungsunya ke KPAI, Al Ghazali Juga Geram
Alih-alih menyerah karena tidak sanggup melakukan semuanya, kita bisa mulai dengan membagi dua. Jika pergi ke gym terasa mustahil, kita cukup berjalan kaki ke luar rumah. Bila itu pun berat, kita potong lagi berjalan ke pagar depan. Jika langkah itu masih tampak jauh, maka berjalan ke ruang tamu bisa menjadi awal.
Intinya, kita membelah tujuan besar menjadi bagian-bagian kecil hingga menemukan satu hal yang masih mampu kita lakukan. Sesederhana apapun, sekecil apapun, itu tetap berarti.
Gerakan Kecil adalah Senjata Terbesar Melawan Inersia
Penelitian di bidang psikologi perilaku berulang kali menunjukkan bahwa kemajuan yang konsisten, meski kecil, lebih efektif dalam menghadapi depresi dibandingkan perubahan besar yang mendadak. Satu langkah kecil menuju meja makan bisa lebih berarti dibanding berusaha keras mengejar pelarian instan.
Lambat laun, dengan gerakan-gerakan kecil yang diulang, batas diri mulai meluas. Depresi mulai mengendur ketika kita tidak menyerah, ketika kita terus menggerus batu besar itu sedikit demi sedikit. Seperti air yang mengikis karang.