Tumpang tindih fungsi spasial ini memperlihatkan adanya potensi konflik tata ruang antara orientasi pelestarian budaya dan kepentingan ekonomi ekstraktif. Oleh karena itu, diperlukan formulasi kebijakan yang bersifat lintas sektor dan lintas level pemerintahan mulai dari pusat, provinsi, hingga desa, guna memastikan bahwa agenda pembangunan tidak mengorbankan nilai-nilai budaya yang telah diakui secara global. Konstelasi spasial dan kebijakan yang kompleks ini merefleksikan pola-pola global, di mana situs warisan budaya kerap berada dalam tekanan akibat tarik-menarik antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian historis.
Lebih luas lagi, kerusakan situs warisan dunia akibat tekanan ekonomi dan tata kelola yang lemah telah menjadi fenomena global. Di Peru, Machu Picchu menghadapi risiko besar dari overtourism dan degradasi lingkungan yang dibangun tanpa memperhatikan daya dukung situs hingga pemerintah setempat terpaksa membatasi jumlah pengunjung. UNESCO bahkan sempat mempertimbangkan pencabutan statusnya sebagai warisan dunia karena erosi dan kerusakan fisik yang tak terkendali.
Tembok Besar China juga mengalami kerusakan karena eksploitasi wisata massal dan pembangunan yang mengabaikan konservasi, sementara 35 situs warisan dunia di Meksiko mengalami degradasi signifikan akibat overcrowding dan lemahnya integrasi tata kelola. Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa tanpa kebijakan yang holistik dan berpihak pada pelestarian, status warisan dunia pun tidak menjamin kelangsungan sebuah situs. Sebagaimana dicatat oleh UNESCO (2023), keutuhan dan keaslian lanskap budaya merupakan indikator utama kelayakan suatu situs sebagai warisan dunia.
Dalam konteks Candi Muarojambi, pendekatan sektoral dan lemahnya penegakan kebijakan konservasi seperti tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSKN) Candi Muarojambi menunjukkan defisit koordinasi antarinstansi.
Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 135/M/2023 bahkan secara eksplisit membatasi aktivitas industri di kawasan ini. Namun implementasinya masih lemah.
Oleh karena itu, pelestarian Candi Muarojambi harus diletakkan dalam kerangka kebijakan strategis nasional yang berbasis tata ruang konservasi dan pelibatan multipihak. Pemerintah daerah, kementerian teknis, akademisi, komunitas adat, dan sektor swasta perlu membentuk model kolaborasi yang inklusif, berbasis data, dan berlandaskan kearifan lokal.
Di sisi lain, pengembangan ekonomi alternatif melalui pariwisata sejarah, pendidikan budaya, dan ekowisata berbasis komunitas harus dijadikan prioritas dalam menciptakan keseimbangan antara pelestarian dan pembangunan.
Memastikan eksistensi berkelanjutan Candi Muarojambi bukan sekadar upaya konservasi artefak arkeologis masa lalu, melainkan merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk merawat memori kolektif bangsa serta menjamin keberlanjutan identitas budaya Indonesia. Tantangan pelestarian tidak semata terbatas pada isu-isu teknis seperti pengelolaan sampah, keterbatasan lahan parkir, atau lemahnya strategi branding, tetapi juga mencakup persoalan mendasar mengenai keberlanjutan eksistensi situs ini sebagai ruang budaya hidup yang mampu beradaptasi dalam dinamika pembangunan modern.
Tanpa reformulasi visi pembangunan yang berorientasi jangka panjang dan berbasis pada prinsip-prinsip integrasi lintas sektor serta keberpihakan terhadap nilai-nilai historis, kita berisiko kehilangan bukan hanya satu entitas arkeologis, tetapi juga narasi kebudayaan yang menjadi fondasi kebangsaan.