MATAJAMBI.COM – Kehadiran kecerdasan buatan (AI) membawa peluang besar sekaligus tantangan baru bagi manusia.
Di satu sisi, teknologi ini mampu menyajikan ringkasan informasi dan solusi instan hanya dengan satu perintah. Namun di sisi lain, para pakar mengingatkan adanya risiko manusia kehilangan kendali atas proses berpikirnya sendiri.
Konsep human agency, atau kemampuan individu untuk mengarahkan pikirannya, kini menjadi perhatian utama di tengah derasnya penggunaan AI.
Jika sebelumnya agensi lebih dipahami sebagai pilihan dalam belajar, mengambil keputusan, dan menentukan kepercayaan, kini peran tersebut semakin terancam tergantikan oleh mesin.
“AI bisa menjadi mitra yang mendorong kita berpikir lebih kritis. Tetapi bahaya terbesar adalah ketika kita berhenti mengendalikan percakapan dan membiarkan mesin mengambil alih arah pemikiran,” kata Michael Wagner, Profesor di Universitas Drexel, melalui tulisannya.
Menurut Wagner, pemikiran kritis yang dahulu menjadi pilar pendidikan kini harus ditingkatkan.
Ia memperkenalkan konsep Kursus Keterlibatan Kritis yang terdiri dari empat keterampilan penting membaca kritis untuk memahami algoritme di balik konten, mendengar kritis untuk mempertanyakan suara manusia maupun sintetis.melihat kritis agar tidak terjebak manipulasi visual, serta membuat kritis dengan menghasilkan karya sendiri sambil mengevaluasi peran teknologi dalam prosesnya.
“Ini bukan sekadar latihan akademik, melainkan keterampilan bertahan hidup,” tegas Wagner.
Kemudahan mengakses jutaan informasi dalam hitungan detik ternyata menghadirkan paradoks. Kelimpahan informasi bisa membuat manusia pasif dan kehilangan motivasi untuk mencari pengetahuan secara mandiri.
“Agensi manusia menjadi penangkalnya. Hanya dengan menjaga kendali, kita bisa mengubah banjir informasi menjadi peluang, bukan jebakan,” tulis Wagner.
Pakar menekankan bahwa semua pihak harus berperan menjaga keseimbangan penggunaan AI. Pendidik perlu mengajarkan siswa untuk tidak hanya mengandalkan jawaban instan dari mesin.