UGM menilai tindakan Edy melanggar ketentuan dalam Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2023 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Hasil investigasi menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut dapat diganjar sanksi skorsing hingga pemecatan permanen.
Meski begitu, karena Edy berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menjabat sebagai guru besar, sanksi akhir tidak bisa serta-merta diputuskan oleh pihak kampus. Keputusan akhir tetap berada di tangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
“UGM telah menerima pelimpahan kewenangan terbatas dari Kementerian untuk penanganan awal. Namun, keputusan final terutama terkait jabatan guru besar harus menunggu keputusan resmi dari pusat,” jelas Andi.
Baca Juga: Hanya Butuh 1 Kemenangan Lagi! Timnas U-17 Indonesia Dekat ke Piala Dunia 2025
UGM memastikan bahwa pengambilan keputusan akan dilakukan setelah masa libur Idulfitri. Rektor dijadwalkan segera mengeluarkan putusan administratif menyusul evaluasi lanjutan dari pimpinan universitas.
Lebih dari sekadar penindakan terhadap pelaku, UGM menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban serta pemulihan psikologis. Pendampingan, konseling, dan upaya preventif disebut sebagai prioritas utama universitas dalam mencegah terulangnya kasus serupa.
“Kami berkomitmen membangun lingkungan akademik yang aman dan bermartabat. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa sistem pengawasan dan pelaporan harus terus diperkuat,” pungkas Andi.
Kasus ini pun menuai perhatian luas di media sosial dan kalangan akademisi. Banyak pihak mendesak agar UGM serta institusi pendidikan lainnya lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual dan mendorong terciptanya budaya kampus yang berintegritas dan berpihak pada korban.