“Simbol kemunduran kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui RUU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis," kata Ketua IJTI Pengda Jambi Adrianus Susandra.
Tidak hanya itu, kata Adrianus masih ada beberapa pasal kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik.
"Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers,” katanya.
Ketua PFI Jambi Irma mengatakan pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi “Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan,
dan pencemaran nama baik,” berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.
Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multitafsir.
“Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers
karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor,” ujar Irma.
Sejumlah pasal dalam draf itu juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa KPI
berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Pasal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.
“Kami khawatir, Komisi I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas,” kata Irma.