Hukum

Begini Cara Kerja Mafia BBM di Kupang, Modus Penimbunan Solar Bersubsidi Raup Ratusan Juta Per Hari

0

0

matajambi |

Rabu, 30 Okt 2024 11:50 WIB

Reporter : Adri

Editor : Adri

Caption Gambar

Berita Terkini, Eksklusif di Whatsapp

+ Gabung

KUPANG,MATAJAMBI.COM - Kasus dugaan mafia bahan bakar minyak (BBM) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah menjadi sorotan setelah diungkap oleh mantan anggota Polres Kupang, Inspektur Dua (Ipda) Rudy Soik. Penimbunan minyak bersubsidi ini dikabarkan berkontribusi pada kelangkaan BBM yang kerap dikeluhkan nelayan setempat. Melansir Tempo Rabu 30 Oktober 2024, Berdasarkan penyelidikan Rudy, mafia solar ini diduga meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah setiap harinya melalui modus penimbunan dan penjualan solar bersubsidi secara ilegal.

Menurut Rudy, modus yang digunakan oleh pelaku melibatkan barcode Pertamina, yang memungkinkan mereka membeli solar bersubsidi di SPBU dengan harga Rp6.800 per liter. Mereka kemudian menjualnya kembali dengan harga jauh lebih tinggi, berkisar antara Rp18.000 hingga Rp20.000 per liter, sehingga mendapat keuntungan besar dari selisih harga tersebut.

Rudy menjelaskan bahwa barcode resmi ini sebenarnya tidak dimiliki oleh para pelaku langsung, melainkan dioperasikan atas nama orang lain. Dari hasil penyitaan, empat barcode Pertamina diduga dimiliki oleh seorang pengusaha perikanan asal Cilacap, Jawa Tengah, dan seharusnya hanya boleh digunakan untuk keperluan operasional kapal milik pengusaha tersebut. Dua dari barcode ini memiliki kapasitas untuk pengambilan solar bersubsidi sebesar 4.000 liter per hari, sementara dua lainnya bisa mengakses 4.000 liter per bulan.

Para pelaku menjalankan operasinya dengan menggunakan truk tangki berkapasitas 5.000 liter. Setiap harinya, mafia solar ini bisa menjual hingga 10.000 liter solar bersubsidi, dengan keuntungan sekitar Rp56 juta per 5.000 liter, atau Rp112 juta per hari.

Baca Juga : Satreskrim Polres Batang Hari Gelar Rekonstruksi Kasus Perampasan Mobil, Puluhan Adegan Diperagakan

Namun, perjuangan Rudy dalam membongkar kasus ini tidak tanpa hambatan. Upaya penyelidikan Rudy harus terhenti setelah ia mendapatkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) Polda NTT pada 11 Oktober lalu. Rudy disanksi karena dinilai melanggar kode etik, yakni memasang garis polisi di tempat penampungan minyak milik dua anggota jaringan ilegal berinisial AA dan AG.

Salah satu pelaku, AA, diketahui merupakan residivis kasus yang sama. Pada tahun 2022, AA pernah ditangkap karena membawa 6.000 liter solar bersubsidi ilegal, namun keluar dari penjara pada tahun berikutnya dan diduga kembali mengulangi perbuatannya. Bahkan, pada 2023 Polresta Kupang kembali menangkap AA saat hendak mengirimkan minyak ke Timor-Leste, meskipun akhirnya AA dinyatakan tidak bersalah di pengadilan.

Rudy mengungkapkan bahwa AA dan AG bukan nelayan atau pemilik kapal yang berhak atas solar bersubsidi dalam jumlah besar tersebut, namun diduga bagian dari jaringan mafia yang menggunakan identitas orang lain untuk memperoleh akses subsidi.

“Pengusaha asal Cilacap ini punya 11 kapal, dan barcode yang dimiliki digunakan oleh pihak yang tidak berhak,” ujar Rudy.

Rudy berharap pengungkapan kasus ini bisa menjadi dasar untuk menindak lebih tegas para pelaku mafia BBM di NTT, terutama mereka yang merugikan masyarakat nelayan. Kelangkaan BBM yang dialami nelayan setempat menjadi bukti nyata bahwa praktik penimbunan solar bersubsidi sangat merugikan masyarakat.

Dengan adanya dugaan mafia BBM bersubsidi ini, masyarakat berharap agar pihak berwenang dapat segera menyelesaikan kasus ini, serta memperketat pengawasan distribusi BBM agar lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi.*

Share :

KOMENTAR

Konten komentar merupakan tanggung jawab pengguna dan diatur sesuai ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Komentar

BERITA TERKAIT


BERITA TERKINI


BERITA POPULER