MUARO BUNGO, MATAJAMBI.COM – Harapan petani karet untuk menyambut kebangkitan ekonomi usai Idulfitri 2025 kembali pupus. Harga karet yang sempat menggeliat pada awal Ramadan, kini terjun bebas hingga menyentuh angka terendah dalam beberapa bulan terakhir.
Jika sebelumnya harga karet menyentuh Rp15.000 per kilogram, kini para petani hanya bisa menjual hasil sadapan mereka di angka Rp10.000. Penurunan ini terjadi merata di sejumlah wilayah sentra karet, seperti Kecamatan Jujuhan dan Desa Talang Silungko, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
“Kami tidak tahu lagi harus bagaimana. Setelah Lebaran, harga langsung jeblok. Biaya sadap dan rawat kebun saja tidak nutup,” ujar Sukrianto, petani karet yang telah bergelut dengan komoditas ini lebih dari 20 tahun.
Karet selama ini menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pedesaan di Bungo. Namun, fluktuasi harga yang ekstrem tanpa solusi konkret dari pemerintah membuat petani makin sulit bertahan.
Baca Juga: Arus Balik Padat, Kasatlantas Batanghari Ingatkan Pemudik: Keselamatan Lebih Penting dari Kecepatan!
Munandar, pengepul karet lokal, menyebut penurunan ini dipengaruhi oleh dinamika pasar global. “Kami hanya mampu membeli Rp10 ribu per kilo. Bahkan bisa turun lagi kalau harga internasional belum stabil,” ungkapnya.
Ia mengaku khawatir dengan nasib petani yang kian terpuruk. “Setiap tahun setelah lebaran pasti harga jatuh. Tapi tahun ini benar-benar parah. Banyak petani yang mulai putus asa.”
Beban Bertambah, Pilihan Menyempit
Kondisi ini berdampak langsung pada ekonomi rumah tangga petani. Biaya operasional seperti upah penyadap, pembelian pupuk, hingga perawatan kebun menjadi beban yang tak sebanding dengan penghasilan.
Joni, petani dari Talang Silungko, bahkan mengaku mulai mempertimbangkan alih komoditas. “Kami berpikir untuk tanam sawit atau jagung, tapi itu butuh modal dan waktu. Lagi pula, lahan kami sudah cocoknya untuk karet,” katanya.
Baca Juga: Ingin Menghapus Henna dari Kulit dengan Cepat? Ini 5 Trik Aman yang Jarang Diketahui!
Sebagian petani lainnya mencoba mencari pekerjaan tambahan di sektor informal, seperti buruh bangunan atau berdagang kecil-kecilan. Namun, minimnya keterampilan dan akses permodalan membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kesulitan.
Para petani berharap adanya campur tangan serius dari pemerintah daerah maupun pusat. Mulai dari penetapan harga dasar, pembukaan pasar ekspor baru, insentif peremajaan kebun, hingga pelatihan peningkatan kualitas getah.
“Kami tidak bisa terus berharap pada pasar global. Pemerintah harus ikut mengatur agar harga tidak semaunya turun,” tegas Sanusi, petani lainnya.
Selain itu, para pelaku industri karet lokal juga mengusulkan pembentukan koperasi atau badan usaha milik petani untuk mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak dan memperkuat posisi tawar.
Baca Juga: 6 Dampak Ngeri Penggunaan Earphone yang Jarang Diketahui Orang!